Friday, September 02, 2016

Mempelajari Manusia Lewat Cacing Transparan

Yuhu para pembaca!

Berikut artikel ilmiah populer yang saya tulis untuk harian Pikiran Rakyat Bandung, terbit tanggal 1 September kemarin.

Semoga berkenan ;)

------------------------

Sejak lama, para peneliti dan cendekiawan gemar mengamati berbagai makhluk hidup untuk mempelajari alam dan kehidupan. Para ilmuwan terdahulu, semisal Charles Darwin, kerap membandingkan adanya kesamaan anatomi dan organ dari berbagai makhluk hidup. Kemudian melalui pengamatan kolektif dan komunikasi hasil penemuan selama berabad dari para peneliti sedunia, telah diketahui bahwa beberapa proses dasar biologis ternyata sama pada setiap makhluk hidup. Proses dasar ini contohnya pembelahan sel, respirasi sel dan produksi energi, dan lain sebagainya.

Seiring dengan kemajuan bidang biologi sel dan molekuler, diketahui pula bahwa bukan hanya proses dasarnya yang mirip, namun bahkan beberapa gen yang menyimpan informasi biologis pun bersifat homolog, atau memiliki kesamaan sekuens meski tidak 100%. Berdasar konsep inilah kita bisa mempergunakan spesies lain untuk mempelajari kinerja sel manusia dan bahkan penyakit manusia. Prinsipnya, kita menggunakan organisme model dengan mutasi yang terletak pada sebuah gen yang memiliki homologi pada manusia, kemudian mempelajari efeknya pada skala sel maupun organisme secara keseluruhan.

Sebagai contoh, protein Polimerase Gamma mitokondrial yang bertugas mereplikasi DNA mitokondria. Apabila protein ini tidak berfungsi dengan baik, maka fungsi produksi energi dari mitokondria bisa terganggu dan bisa berkembang menjadi penyakit yang mematikan terutama bagi anak – anak. Protein Polimerase Gamma dikode oleh gen POLG1 pada manusia, gen Polg1 pada tikus, gen MIP1 pada ragi roti Saccharomyces cerevisiae, gen pol γ-α pada lalat buah Drosophila melanogaster dan gen polg-1 pada cacing Caenorhabditis elegans. Berkat kesamaan dengan manusia, keempat spesies tersebut kini dipakai untuk modelisasi penyakit akibat mutasi pada gen POLG.

Cacing yang baik

Pada ulasan ini, penulis akan memperkenalkan keunikan dan manfaat organisme model cacing Caenorhabditis elegans atau singkatnya, C. elegans. Nama ilmiah cacing ini berasal dari bahasa latin “caeno” atau baru, “rhabditis” atau batang, serta “elegans”, yang berarti baik.

C. elegans pertama kali diperkenalkan sebagai organisme model oleh seorang peneliti asal Afrika Selatan bernama Sydney Brenner. Brenner menyadari bahwa kemajuan dalam bidang biologi sel dan molekuler tak lepas dari peranan organisme model. Oleh karena itu, adanya organisme model yang murah dan mudah dibudidayakan tentu akan membawa semakin banyak banyak kemajuan bagi pengetahuan. Itulah alasan Brenner memperkenalkan C. elegans ke meja penelitian.

Cacing C. elegans merupakan cacing berukuran mikroskopis, yakni hanya 1 mm saja. Untuk bereksperimen dengan C. elegans, peneliti cukup menggunakan stereomikroskop sederhana. Siklus hidupnya cepat, hanya 3 hari pada suhu 20°C, oleh karena itu pengamatan tidak perlu dilakukan selama berbulan – bulan seperti pada hewan lain yang lebih kompleks. Cara perawatannya pun relatif mudah, C. elegans mendapatkan asupan nutrisi dengan mengonsumsi bakteri E. coli di permukaan media Agar pada cawan Petri di mana cacing dibudidayakan. Yang menarik lagi, larva C. elegans dapat tumbuh kembali setelah dibekukan pada suhu -80°C. Hal ini memungkinkan peneliti untuk mengoleksi berbagai mutan dan mempelajarinya dalam jangka waktu panjang.

Anatomi C. elegans hermafrodit dewasa di bawah stereomikroskop dengan perbesaran 80x. 
Proses swa-pembuahan terjadi saat sel telur yang berada di ruang sel telur bermigrasi ke ruang sperma untuk dibuahi. 
Inset : satu embrio C. elegans pada tahap pembelahan pertama.
Foto merupakan karya penulis.


Keunggulan Hermafrodit

Kebanyakan C. elegans berkelamin hermafrodit alias memiliki dua sistem reproduksi, serta mampu membuahi dirinya sendiri (swa-pembuahan). Lain dengan manusia yang memiliki dua jenis kromosom seks yakni XX (perempuan) dan XY (laki-laki), jenis kelamin C. elegans hanya ditentukan oleh satu kromosom saja yaitu kromosom X. Jika ada dua kopi kromosom X pada satu cacing, maka ia akan berkembang menjadi cacing hermafrodit. Sedangkan cacing jantan hanya memiliki satu kopi kromosom X. Pada proses pembuahan normal biasanya semua kromosom ditakdirkan berpasangan, maka kemunculan cacing jantan dengan hanya satu kromosom X bisa dikategorikan sebagai kejadian yang langka. Probabilitas kemunculan satu larva jantan adalah tiap 5000 hingga 10000 kelahiran. Meski teramat langka, cacing jantan tetap bisa membuahi hermafrodit dan mampu menghasilkan hingga 3000 keturunan.

Dari sudut pandang genetik, karakter reproduktif C. elegans amat menguntungkan bagi peneliti, karena satu ekor cacing hermafrodit dapat memiliki keturunan dengan swa-pembuahan sebanyak 300 ekor. Mengingat pembuahan dilakukan sendiri, maka informasi genetik yang diturunkan pun 100% sama, artinya sang induk hermafrodit melahirkan keturunan yang merupakan klon dari dirinya. Salah satu cara untuk membuat galur cacing mutan adalah dengan menyilang cacing hermafrodit dengan cacing jantan yang membawa sifat genetik yang diinginkan.

C. elegans dan Manusia

C. elegans hermafrodit dewasa yang sehat wal afiat memiliki 959 sel, tidak kurang dan tidak lebih. Berkat badannya yang tembus pandang, peneliti dapat mengamati setiap perkembangan sel secara langsung di hewan hidup (lihat gambar). Pengamatan perkembangan bisa dilakukan dari mulai sel telur dibuahi, diikuti oleh tahap – tahap pembelahan sel yang padu hingga menjadi larva dengan organ fungsional. Robert Horvitz mendedikasikan karir penelitiannya untuk mempelajari fenomena kematian sel terprogram pada cacing ini, di mana beberapa sel memang ditakdirkan untuk mati lebih cepat demi kemajuan perkembangan tubuh cacing secara keseluruhan.

Kematian sel terprogram atau apoptosis ini ternyata ada pada hampir semua makhluk hidup termasuk manusia. Pada manusia, proses apoptosis yang seksama amat penting untuk mengendalikan terpicunya sel kanker. Tak pelak, penemuan penting pada cacing kecil ini kemudian dianugrahi penghargaan Nobel Kesehatan pada tahun 2002. Empat tahun berselang dari penghargaan Nobel pertama, dua peneliti C. elegans lain bernama Andrew Fire dan Craig Mello turut ‘diganjar’ penghargaan Nobel. Kali ini tema penelitiannya adalah tentang mekanisme RNA interferens pada C. elegans, di mana kita dapat secara spesifik menonaktifkan gen manapun untuk meniru penyakit pada manusia.

Komunitas peneliti C. elegans di dunia merupakan komunitas yang ramah dan terbuka. Kita bukan hanya bisa mendapatkan informasi genetik secara gratis di situs yang tersedia, namun juga bisa membeli galur mutan C. elegans di Konsorsium Komunitas C. elegans Dunia dengan harga yang relatif murah, yakni hanya sekitar 7 dollar per galurnya. Tak heran, penelitian dengan C. elegans kini semakin menjamur di dunia.

Saat ini, C. elegans telah dipakai untuk berbagai riset kesehatan, dari mulai penelitian sistem syaraf, kanker dan penuaan, hingga penemuan obat baru atau new drug discovery. Khusus untuk penemuan obat, penggunaan C. elegans dapat menjadi pintu seleksi pertama dalam mempelajari kandidat obat pada hewan multiseluler. Dari segi ekonomi, penelitian dengan C. elegans layak dipertimbangkan sebelum para peneliti obat terjun menggunakan organisme lain yang lebih kompleks dan mahal, seperti tikus, mencit maupun primata.


*) Penulis merupakan peneliti pengguna C. elegans. Saat ini bekerja di Institut of Integrative Biology of the Cell, Université Paris-Saclay, Perancis.

1 comment:

Anonymous said...

Kak laras,bagi contactnya dong.. ini ucok tetangga kak laras di jakarta