Friday, March 12, 2010

si odob dan si otoy


Hay saubats, keluarga dan koléha yang tersebar di seluruh penjuru dunia, tadi siang pada makan apa?

(ehe ehe ng saya paham agak terlalu cepat untuk menanyakan menu makan siang jika baru saja memulai menyapa, tapi tak apalah toh kita ini kan kenal sudah lama, euh.)

Pada saat saya memulai menuliskan ini, keadaan intrinsik yang terjadi di sekitar saya adalah :
(1) Waktu menunjukkan pukul 5 sore
(2) Saya baru kelar kuliah imunologi yang mengharukan
(3) Saya baru mendapatkan surat dari perfektur yang menjelaskan bahwa tak lama lagi saya akan mendapatkan ijin tinggal (mari bersorak hore- "HORE")
(4) Matahari bersinar dengan derasnya dan burung berkicau lantang sehingga rumput - rumput mulai berbunga (apa hubungannya antara kicau burung dan rumput berbunga? yah entahlah karena yang maha tahu adalah Allah, ehe ehe)

Adapun perihal yang hendak saya lontarkan pada sore hari yang berbahagia ini adalah mengenai bentuk kesadaran yang saya dapatkan tak berapa lama kemarin. Bentuk kesadaran baru acap kali menjadi topik utama dari esai - esai alakadar yang saya bikin, mungkin karena jika dalam bentuk tidak sadar boro - boro kita bisa bikin esai (saya juga bingung kenapa saya seringkali mengkait2kan hal yang tidak nyambung semacam ini, tapi sudahlah ya, terimakasih atas pengertiannya)

Nah kembali ke topik tulisan, bentuk kesadaran yang saya terima adalah penting ternyata bagi kita untukkkkk terus menjadi bodoh dan sotoy ("kita" disini maksudnya adalah ya saya sendiri ding, karena saya jujur saja tak paham dan tak berhak mendefinisikan kebutuhan individual yang saling berbeza eheu eheu malu ah). Kaitannya terutama adalah pada dunia riset dan penemuan yang -duh betapa inginnya- saya dalami.


Menjadi bodoh itu penting, kata Martin Schwartz seorang peneliti di departemen mikrobiologi Virginia University (rupanya kita sepakat). Tapi bodoh bukan sembarang bodoh, bodoh yang dia maksud adalah bodoh produktif.

Yakni ketika ketidaktahuan yang merasuk adalah jadi terbakar oleh semangat untuk mengubahnya jadi ketahuan (ih ke-tahu-an jadi goreng, kaya lagu band matta). Terutama karena dalam dunia keilmuan, laju penemuan baru selalu cepat dan segala tahapan yang kita baru ketahui membikin jadi penasaran akan tahapan selanjutnya (ya tak jauh bedalah dengan kalo nonton sinetron, cuma ini mungkin agak lebih mendidik aja gitu ehe ehe)

Kenaikan laju penemuan memang berarti adalah peningkatan informasi baru. Tapi bagai kucing dan ekornya (ciaelah), informasi baru hampir selalu dibarengi dengan munculnya pertanyaan2 baru. Pertanyaan2 baru ini belum tentu selalu ada jawabannya, menjadikan kita terpojok dan meraung: oh kenapa dan kemana harus kucari.

Ada poin yang menarik yang dia bilang, bahwa adakalanya peneliti merasa gerah otak, karena utamanya ia menjadi peneliti ato ikutan jadi doktor karena she/he was good at it and so had a big interest on it. Tantangannya adalah bagaimana bila ia tidak lagi sepintar itu, dalam artian kali ini ia tak menemukan jawabannya, karena jawaban tidak lagi berupa hapalan dalam buku. Baiknya tentu interest harus tetap ada, semangat harus tetap terbakar. Dengan begitu cintamu kepada ilmu pengetahuan tak menjadi cinta monyet belaka yang bilamana sudah tau borok2nya engkau pun pergi meninggalkan dirinya (musik melankolis mengiringi).

Dan jikalau jawaban sudah ditemukan, carilah pertanyaan baru dan menguliklah disana hingga siklus terulang kembali. Teruuuuuuuuus saja bagai lebah pekerja yang sibuuuuuk dan eeh tahu2 madu sudah banyak sehingga adik Fulan yang terkena Progeria Disease pun bisa pergi ke disneyland pada usia 17 tahun sebelum ia mulai tahun universitasnya :)

Tapi tentu saja, ngomong memang gampang, euh terutama saya pribadi adalah orang yang suka mandeg dan ngambeg juga suka menye - menye. Bref, dunia tak sempurna bagai di cerita - cerita Disney tapi juga tidak semenyedihkan tragedi - tragedi Yunani. Selalu mesti ada alasan untuk bangkit dan maju lagi, tapi boleh pula kita berhenti untuk meredefinisi tujuan2 atau sekedar ambil rehat agar pikiran menjadi segar ehe ehe.

Kesadaran kedua, rupanya tak hanya harus terus menjadi bodoh, ah kita ini rupanya mesti selalu sotoy.

Ehe ehe, begitu tersadar saya kok jadi senang. Karena sudah menjadi rahasia umumlah kalo saya sering disorak sotoy oleh saubat2 saya, dan bagai tidak trauma, saya pun tiada kapoknya bersotoy2 ehe ehe. Tapi mungkin sotoy saya yang biasa tidak terlalu saintifik sifatnya euh.

Sotoy itu ternyata penting pula. Kenapa? karena kita mesti selalu membuat hipotesa. Ketika ada hasil dari sebuah eksperimen, kita harus membuat daftar sepanjang mungkin dengan imajinasi super liar untuk menjelaskan mengapa itu bisa terjadi. Dan seperti yang kita ketahui bersama, lain dunia teknik dan logika, life science adalah ilmu yang pasti - pasti enggak, ehehehe. Dibilang pasti ya memang pasti, tapi tiap kasus adalah delikat dan spesifik, dan penyebab kepastian itu belum semua diketahui.

Disinilah kita dituntut untuk menjadi sotoy. Sotoy rupanya adalah pembebasan terhadap pendapat dan imajinasi, Tapi tentu kesotoyan - kesotoyan tersebut harus disembarikan dengan memaparkan alasan2 yang bonafide. Jadi untuk dapat menyotoy dengan mantap, amunisi kita mesti kuat bung, pengetahuan dasar mesti sudah yakin (pas nulis ini saya mules, menyadari bahwa saya belum :|) Jika ternyata salah bagaimana? Tiada mengapa kawan, karena semakin panjang daftar kesotoyan kita, kumpulan kesotoyan itu insya Allah akan terseleksi dan menghubungkan hasil satu ke hasil lainnya sehingga dapat memberikan sebuah keterkaitan yang mengharukan. dan terutama, yang menyelamatkan.

Hehehe, dengan batasan definisi di atas, ijinkanlah dan doakanlah saya wahai saubats, keluarga dan koléha di seluruh penjuru dunia, untuk menjadikan diri selalu bodoh dan sotoy. Insya Allah.

Selamat menjelang akhir pekan! <3

Saturday, January 09, 2010

I'm feeling funky


I'm feeling funky. yang merupakan fenomena yang agak aneh.



ada suatu sebab, tapi sebab tersebut sifatnya pribadi, sehingga tidak dapat saya kemukakan disini, karena belom tentu saya dan anda itu kenal terlalu akrab, bukan bermaksud sombong atau bagaimana, tapi hati - hati boleh dong?

kendati pun demikian, jika ada yang ingin tahu, silahkan hubungi lewat japri. bukan japri jalur pribadi, tapi itu lhoo mas Japri asisten pribadi saya. Ahuhuhu. Euh, joke saya kok semakin lama semakin selucu bayi trenggiling.

Bon.

I'm feeling funky, saya sedang merasa fangki. Atau apa sih padanan kata funky dalam bahasa indonesia, fangki kok jadi kaya pengki. Dan pengki kan bukan kata sifat melainkan kata benda. dan bukan benda yang konotasinya bagus juga lagi. Kalo kata sifat yang mirip pengki itu ya dengki barangkali ya, tapi ah astagfirullahalazim jangan dong saya merasa dengki, ah Badu, itu kan tidak baik.

Jreng, siapa pula Badu, apa yang ia lakukan dalam cerita?

Entahlah, ini kan sedang merasa fangki, kita ikutin saja jari ini mau menari kemana, mau ikut? ayo hap letakkan kedua tanganmu di bahuku tapi dari belakang ya, seperti mau main kereta - keretaan. Jangan kita sambil berhadapan, karena bikin saya merasa jengah, nanti malu lagi dilihat orang, disangka mau chachacha goyang calypso.

Kembali lagi ke masalah Badu, jangan ia dicueki begitu saja, gak baik bersikap begitu. Ya mengenai masalah Badu, saya rasa saya belum pernah bertemu orang secara live, mengenal orang secara personal, yang namanya Badu. Ada kalanya saya berpikir kalo itu semata - mata nama yang hanya eksis di Balai Pustaka, yang lambangnya buku terbuka dan seringkali bahan sampulnya itu tidak glossy.

Jangan - jangan itu kode nama akrab dari J.S. Badudu. Nicknamenya Badu. Je Es Badu Du. Hmmm tidakkah kalian curiga. Kita ini memang terlalu banyak diintrik. Sudah waktunya kita bangkit. Lho kok jadi berbau - bau subversif ahahaha.

Glek. ini dari tadi pembicaraan macam apa si. Pepesan kosong. Debat kusir. Tong kosong nyaring bunyinya. Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Belanga? Belanga, akh alangkah asing kata belanga bagi telinga anak muda jaman sekarang.

Ah saya mungkin juga bisa membicarakan peribahasa - peribahasa indah nanti di tulisan selanjutnya. Bisa juga membahas elvira, ah saya mengangeninya sebagaimana saya mengangeni ayah ibuk bonti dan guri.

Itu rupanya inti tulisan ini, adalah saya lagi pemanasan untuk bisa cerita - cerita lagi. Tapi harus hati - hati juga, terkadang terlalu banyak cerita juga bisa bikin kita (baca=saya, ding) terjebak dalam riya, terjebak dalam perasaan puas terhadap diri sendiri yang membikin diri buta dan tidak sensitif. Engkau tentu setuju bahwa pujian itu bisa jua jadi racun.

Ini sudah waktunya diakhiri, celoteh si anak bawang yang sedang doyong di malam buta.

HAP. (melompat minggat)

o Rabb sayang, jauhkanlah aku dari puas diri yang terlalu cepat dan juga kebodohan hati serta pikiran, satu lagi Rabb sayang, lindungilah pula orang - orang yang membaca tulisan ini dari itu semua.

amin.


*kangenku setebal salju Orsay*