Wednesday, January 21, 2015

Charlie and me

Hay teman-teman pembaca yang budiman dan budiwoman,

Apa kabar nich? Semoga teman - teman pembaca sekalian selalu dalam keadaan sehat badan dan akal, juga berbahagia.

Terkait peristiwa Charlie Hebdo di Paris awal Januari ini, kemarin saya dihubungi seorang wartawati dari BBC Indonesia untuk diwawancara.

Liputan wawancaranya dapat disimak pada tautan ini

Nganu, untuk muka saya yang begitulah adanya, mohon teman - teman maklum ya, kebetulan saat ini memang pilihan karir saya bukanlah di dunia hiburan, jadi ya barangkali agak kurang menjual. Untunglah suami saya di sebelah kece dan otentik begitu, jadilah liputan tersebut menjadi semakin manis dan renyah (ehe ehe ehe)

Ada beberapa poin wawancara yang tidak diunggah ke dalam liputan, dan kini saya hendak membaginya ke teman-teman sekalian, siapa tahu kita bisa saling bersilaturahmi pemikiran ;-)

Berikut wawancara lengkapnya, semoga teman - teman berkenan ya!




Jawaban dari pertanyaan mbak C saya paparkan sesuai poin pertanyaan ya.

Iya, betul kemarin saya dan suami ikut aksi damai "Marche Républicaine" di Paris, hari Sabtu tanggal 11/01/15.

1. Apa alasan yang membuat kamu ikut turun ke jalan waktu itu?

Karena saya muslim, dan saya mengecam aksi terorisme yang menggunakan topeng agama Islam, sederhana saja : saya marah ketika ada segelintir orang menggunakan alasan kemuliaan Allah dan nabi Muhammad untuk membunuh. Bukan itu inti ajaran Islam yang kita pahami. Saya juga turun ke jalan sebagai aksi melawan islamofobia, supaya kejadian ini tidak digunakan oleh kalangan yang pada dasarnya sudah rasis untuk semakin menunjukkan kebenciannya pada komunitas muslim.

2. Bisa digambarkan suasananya? 

Suasana aksi damai sangat ramai, jalanan yang biasanya kosong menjadi lautan manusia. Kemudian kesan yang saya dapat juga aksi tersebut terasa sangat aman dan kondusif, dan semua perwakilan komunitas ada di sana, kaum kanan, kaum kiri, semua perwakilan agama juga ikut turun. Banyak pesan kedamaian dan solidaritas, rata - rata orang membuat atributnya sendiri, itu yang membuat saya terharu, banyak orang yang menghimbau satu dan yang lain agar tidak menempelkan stigma negatif kepada komunitas muslim. Rata - rata orang yang berpendidikan paham bahwa yang namanya terorisme itu murni berisi kebencian dan tidak patut diasosiasikan dengan agama apapun.

3. Beberapa hari setelah serangan terhadap Charlie dan aksi damai itu, redaksi Charlie menerbitkan kartun Nabi Muhammad. Bagaimana tanggapan Laras?

dan 

4. Di Indonesia, banyak sekali kecaman terhadap Charlie, banyak yang mengatakan: setelah umat muslim ramai-ramai ikut mengecam serangan, kok Charlie kemudian sengaja "menyakiti" hati umat muslim dengan kartun Nabi. Bagaimana pandangan Laras?


Tanggapan saya, ya biasa - biasa saja, menurut saya yang dimuat di edisi baru Charlie Hebdo hanya interpretasi atas simbol Islam secara "ringan dan sekenanya" dari segelintir kaum yang bukan muslim, menurut saya pribadi ini tidak perlu saya asimilasikan dengan kepercayaan saya sebagai muslim kepada Nabi Muhammad SAW, dan seharusnya kaum muslim tidak perlu merasa tersakiti, yang semacam ini tak perlu dirasa mengancam akan "mencoreng keimanan" seorang, sesuai kata pepatah : Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu :-D

Apalagi, isi kartun "nabi" di situ digambarkan bahwa sang "nabi" mendukung solidaritas dan kebebasan berpendapat, dengan ikut memajang tulisan "je suis charlie". Ditambah pesan tertulis besar dari koran tersebut bahwa "tout est pardonné" atau "semua sudah dimaafkan", yang secara garis besar menggambarkan kedamaian.  

Beberapa hari setelah kejadian penembakan Charlie Hebdo, saya dan suami mendengarkan rekaman wawancara nostalgia dengan Jean Cabut atau "Cabu" (salah satu korban), mengenai bagaimana tanggapan beliau mengenai umat muslim yang marah atas karikatur yang beliau buat. Kemudian beliau menjawab : "dari yang saya paham, larangan menggambarkan Mahomet hanya berlaku di kalangan muslim, kebetulan saya tidak merasa muslim, dan artinya saya berhak menggambarkan beliau sesuai dengan interpretasi saya". 

Di wawancara itu dijelaskan bahwa yang digambarkan adalah imajinasi Cabu atas sosok "nabi"  oleh kaum Islam garis keras yang menggunakan agama untuk menindas. Bagi Cabu, para penindas tersebut tidak mungkin membayangkan "nabi" sebagai sosok yang lembut dan penyayang saat membakar sekolah dan menindas anak - anak & perempuan. 

Di sisi lain, saya pun paham atas kemarahan umat muslim atas penggambaran ini; apalagi muslim Indonesia yang adalah mayoritas, dan secara umum memiliki kultur yang menjunjung tinggi kesopanan dan hubungan baik antar sesama. 

Meski demikian, bagi saya seharusnya kemarahan ini tidak perlu dibiarkan berlarut - larut, lebih baik ditanggapi dengan tegas secara tertulis, atau melalui pernyataan resmi institusional. Kemudian balaslah 'ejekan' ini dengan prestasi, pembangunan negara, penerapan keadilan sosial bagi seluruh kalangan dan partisipasi positif di komunitas internasional, supaya dunia tahu bahwa Indonesia adalah negara yang jauh dari titik panas Timur Tengah, yang didominasi muslim dan menawarkan kesejukan bagi semua umat.

Bagi saya, kejadian ini menjadi masukan penting bagi kaum muslim untuk segera merombak "Intelektualitas Muslim", khususnya para pemudanya yang sedang semangat menjadi 'aktifis media sosial' :-D
Kita boleh meyakini bahwa ajaran agama ini yang paling benar, tapi kaum Muslim sedunia teramat beragam dan mungkin tidak menerapkannya dengan cara yang sama. Kemajemukan dalam umat muslim harus ditelaah dan dipelajari dengan baik, pastikan dalam tiap penerapannya yang dihembuskan adalah napas kedamaian, dan perbaikan ini harus dilakukan terus-menerus :-) 

Bagi saya, "Islamic Bashing" dan penggunaan topeng Islam dalam terorisme/penindasan adalah dua hal yang berbeda. Kaum muslim harus jeli dan bijak menanggapi kedua permasalahan ini, dan tentu harus bisa menentukan prioritas, mana yang bersifat darurat untuk ditangani lebih dulu demi kebaikan umat manusia.

No comments: