Berikut artikel ilmiah populer yang saya tulis untuk harian Pikiran Rakyat Bandung, terbit tanggal 1 September kemarin.
Semoga berkenan ;)
------------------------
Sejak lama, para peneliti dan cendekiawan gemar mengamati berbagai
makhluk hidup untuk mempelajari alam dan kehidupan. Para ilmuwan terdahulu,
semisal Charles Darwin, kerap membandingkan adanya kesamaan anatomi dan organ
dari berbagai makhluk hidup. Kemudian melalui pengamatan kolektif dan
komunikasi hasil penemuan selama berabad dari para peneliti sedunia, telah
diketahui bahwa beberapa proses dasar biologis ternyata sama pada setiap
makhluk hidup. Proses dasar ini contohnya pembelahan sel, respirasi sel dan
produksi energi, dan lain sebagainya.
Seiring dengan kemajuan bidang biologi sel dan molekuler, diketahui
pula bahwa bukan hanya proses dasarnya yang mirip, namun bahkan beberapa gen
yang menyimpan informasi biologis pun bersifat homolog, atau memiliki kesamaan
sekuens meski tidak 100%. Berdasar konsep inilah kita bisa mempergunakan spesies
lain untuk mempelajari kinerja sel manusia dan bahkan penyakit manusia.
Prinsipnya, kita menggunakan organisme model dengan mutasi yang terletak pada
sebuah gen yang memiliki homologi pada manusia, kemudian mempelajari efeknya
pada skala sel maupun organisme secara keseluruhan.
Sebagai contoh, protein Polimerase Gamma mitokondrial yang bertugas
mereplikasi DNA mitokondria. Apabila protein ini tidak berfungsi dengan baik,
maka fungsi produksi energi dari mitokondria bisa terganggu dan bisa berkembang
menjadi penyakit yang mematikan terutama bagi anak – anak. Protein Polimerase
Gamma dikode oleh gen POLG1 pada manusia, gen Polg1 pada tikus, gen MIP1 pada ragi roti Saccharomyces cerevisiae, gen pol γ-α pada lalat buah Drosophila melanogaster dan gen polg-1
pada cacing Caenorhabditis elegans. Berkat
kesamaan dengan manusia, keempat spesies tersebut kini dipakai untuk modelisasi
penyakit akibat mutasi pada gen POLG.
Cacing yang baik
Pada ulasan ini, penulis akan memperkenalkan keunikan dan manfaat
organisme model cacing Caenorhabditis
elegans atau singkatnya, C. elegans.
Nama ilmiah cacing ini berasal dari bahasa latin “caeno” atau baru, “rhabditis” atau batang, serta “elegans”, yang berarti baik.
C. elegans pertama kali diperkenalkan sebagai organisme model oleh seorang
peneliti asal Afrika Selatan bernama Sydney Brenner. Brenner menyadari bahwa
kemajuan dalam bidang biologi sel dan molekuler tak lepas dari peranan
organisme model. Oleh karena itu, adanya organisme model yang murah dan mudah
dibudidayakan tentu akan membawa semakin banyak banyak kemajuan bagi
pengetahuan. Itulah alasan Brenner memperkenalkan C. elegans ke meja penelitian.
Cacing C. elegans merupakan
cacing berukuran mikroskopis, yakni hanya 1 mm saja. Untuk bereksperimen dengan
C. elegans, peneliti cukup
menggunakan stereomikroskop sederhana. Siklus hidupnya cepat, hanya 3 hari pada
suhu 20°C, oleh karena itu pengamatan tidak perlu dilakukan selama berbulan –
bulan seperti pada hewan lain yang lebih kompleks. Cara perawatannya pun
relatif mudah, C. elegans mendapatkan
asupan nutrisi dengan mengonsumsi bakteri E.
coli di permukaan media Agar pada cawan Petri di mana cacing dibudidayakan.
Yang menarik lagi, larva C. elegans
dapat tumbuh kembali setelah dibekukan pada suhu -80°C. Hal ini memungkinkan
peneliti untuk mengoleksi berbagai mutan dan mempelajarinya dalam jangka waktu
panjang.
Keunggulan Hermafrodit
Kebanyakan C. elegans
berkelamin hermafrodit alias memiliki dua sistem reproduksi, serta mampu
membuahi dirinya sendiri (swa-pembuahan). Lain dengan manusia yang memiliki dua
jenis kromosom seks yakni XX (perempuan) dan XY (laki-laki), jenis kelamin C. elegans hanya ditentukan oleh satu
kromosom saja yaitu kromosom X. Jika ada dua kopi kromosom X pada satu cacing,
maka ia akan berkembang menjadi cacing hermafrodit. Sedangkan cacing jantan
hanya memiliki satu kopi kromosom X. Pada proses pembuahan normal biasanya semua
kromosom ditakdirkan berpasangan, maka kemunculan cacing jantan dengan hanya
satu kromosom X bisa dikategorikan sebagai kejadian yang langka. Probabilitas
kemunculan satu larva jantan adalah tiap 5000 hingga 10000 kelahiran. Meski
teramat langka, cacing jantan tetap bisa membuahi hermafrodit dan mampu
menghasilkan hingga 3000 keturunan.
Dari sudut pandang genetik, karakter reproduktif C. elegans amat menguntungkan bagi peneliti, karena satu ekor
cacing hermafrodit dapat memiliki keturunan dengan swa-pembuahan sebanyak 300
ekor. Mengingat pembuahan dilakukan sendiri, maka informasi genetik yang
diturunkan pun 100% sama, artinya sang induk hermafrodit melahirkan keturunan
yang merupakan klon dari dirinya. Salah satu cara untuk membuat galur cacing
mutan adalah dengan menyilang cacing hermafrodit dengan cacing jantan yang
membawa sifat genetik yang diinginkan.
C. elegans dan Manusia
C. elegans hermafrodit dewasa yang sehat wal afiat memiliki 959 sel, tidak kurang
dan tidak lebih. Berkat badannya yang tembus pandang, peneliti dapat mengamati
setiap perkembangan sel secara langsung di hewan hidup (lihat gambar).
Pengamatan perkembangan bisa dilakukan dari mulai sel telur dibuahi, diikuti
oleh tahap – tahap pembelahan sel yang padu hingga menjadi larva dengan organ
fungsional. Robert Horvitz mendedikasikan karir penelitiannya untuk mempelajari
fenomena kematian sel terprogram pada cacing ini, di mana beberapa sel memang
ditakdirkan untuk mati lebih cepat demi kemajuan perkembangan tubuh cacing secara
keseluruhan.
Kematian sel terprogram atau apoptosis ini ternyata ada pada hampir
semua makhluk hidup termasuk manusia. Pada manusia, proses apoptosis yang
seksama amat penting untuk mengendalikan terpicunya sel kanker. Tak pelak,
penemuan penting pada cacing kecil ini kemudian dianugrahi penghargaan Nobel
Kesehatan pada tahun 2002. Empat tahun berselang dari penghargaan Nobel
pertama, dua peneliti C. elegans lain
bernama Andrew Fire dan Craig Mello turut ‘diganjar’ penghargaan Nobel. Kali
ini tema penelitiannya adalah tentang mekanisme RNA interferens pada C. elegans, di mana kita dapat secara
spesifik menonaktifkan gen manapun untuk meniru penyakit pada manusia.
Komunitas peneliti C. elegans
di dunia merupakan komunitas yang ramah dan terbuka. Kita bukan hanya bisa
mendapatkan informasi genetik secara gratis di situs yang tersedia, namun juga
bisa membeli galur mutan C. elegans
di Konsorsium Komunitas C. elegans
Dunia dengan harga yang relatif murah, yakni hanya sekitar 7 dollar per
galurnya. Tak heran, penelitian dengan C.
elegans kini semakin menjamur di dunia.
Saat ini, C. elegans telah
dipakai untuk berbagai riset kesehatan, dari mulai penelitian sistem syaraf,
kanker dan penuaan, hingga penemuan obat baru atau new drug discovery.
Khusus untuk penemuan obat, penggunaan C.
elegans dapat menjadi pintu seleksi pertama dalam mempelajari kandidat obat
pada hewan multiseluler. Dari segi ekonomi, penelitian dengan C. elegans layak dipertimbangkan sebelum
para peneliti obat terjun menggunakan organisme lain yang lebih kompleks dan
mahal, seperti tikus, mencit maupun primata.
*) Penulis merupakan peneliti pengguna C. elegans. Saat ini bekerja di Institut
of Integrative Biology of the Cell, Université Paris-Saclay, Perancis.